ETIKA BERBISNIS DAN
BISNIS YANG TIDAK BERETIKA
Diajukan guna melengkapi syarat-syarat untuk
memenuhi nilai ETIKA BISNIS
Jurusan Manajemen jenjang Strata Satu
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma
Disusun Oleh:
Albertus Bayu Kukuh Prastyo Atmodjo 10206062 / 4EA07
Redy Dwi Santoso 10206782 / 4EA07
Eka Wulan Sari 10202482 / 4EA07
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2009
A. Pendahuluan
Saat ini sedang marak maraknya orang berbisnis.Berbagai bisnis pun sudah banyak yang digeluti oleh orang.Berbagai media pun sudah banyak dimanfaatkan orang baik media cetak maupun media elektronik dari yang door to door hingga melalui cyber media seperti internet.Namun terkadang cara atau metode yang dilakukan oleh pebisnis tersebut kurang baik dan cenderung tidak sehat dalam bersaing.Dan kadang pula,ada beberapa yang kerap kali gagal melakukan Bisnis tersebut.Untuk itu bagaimanakan melakukan bisnis yang baik yang diridho oleh allah dan membawa barokah??? Saat ini sedang marak maraknya orang berbisnis.Berbagai bisnis pun sudah banyak yang digeluti oleh orang.Berbagai media pun sudah banyak dimanfaatkan orang baik media cetak maupun media elektronik dari yang door to door hingga melalui cyber media seperti internet.Namun terkadang cara atau metode yang dilakukan oleh pebisnis tersebut kurang baik dan cenderung tidak sehat dalam bersaing.Dan kadang pula,ada beberapa yang kerap kali gagal melakukan Bisnis tersebut.Untuk itu bagaimanakan melakukan bisnis yang baik yang diridho oleh allah dan membawa barokah??? Pertama,kita harus mengetahi suatu etika dalam berbisnis itu sendiri dimana etika sebagaimana moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari aman dan sebaginya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram(lihat. QS. 2:188, 4:29). Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah. Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakn berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan
B. Pengertian ( Etika Bisnis dan Bisnis Beretika )
Seorang pria bernama Morgan Spurlock mengadakan sebuah percobaan iseng. Ia adalah pria dewasa yang sehat, segar bugar, siklus hidupnya bagus, dan tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Ia kemudian nekat mencoba untuk mengonsumsi junk food dari sebuah perusahaan makanan cepat saji yang cukup terkenal untuk membuktikan hipotesis bahwa junk food memberi ekses sangat negatif pada tubuh. Sebelum melakukan percobaan, Morgan melakukan berbagai pemeriksaan klinis pada 3 dokter yang berbeda untuk mengetahui kondisi fisik dan psikisnya. Setelah itu, selama 30 hari berturut-turut ia hanya mengonsumsi junk food dari perusahaan tersebut, 3 kali sehari, dan setidaknya mencoba setiap menu yang ada minimal 1 kali. Selama periode tersebut, ia terus melakukan pemeriksaan medis. Walau demikian, aktivitas kesehariannya tetap ia lakukan seperti biasa. Hasilnya ternyata sungguh di luar dugaan. Selama 30 hari, Morgan sering mengalami stress dan depresi, sesak nafas, pusing, sulit tidur, dan bahkan, pasangannya mengeluhkan adanya pengaruh buruk dalam kehidupan seksual dan vitalitas mereka. Selama 30 hari tersebut, Morgan mengalami kenaikan berat badan 24,5 pon, kadar kolesterol membengkak hingga 230, dan tingkat kegemukan sebesar 18%. Lebih buruk lagi, untuk menghilangkan penambahan bobot sebesar 20 pon tersebut diperlukan waktu selama 5 bulan, dan 9 bulan lagi untuk menghilangkan sisanya. Pendek kata, kesalahan yang dilakukan hanya selama 1 bulan (baca: buying nothing but junk food) harus ditebus dengan pengorbanan selama beberapa bulan lamanya. Cerita di atas adalah kisah nyata yang diambil dari Super Size Me, sebuah film dokumenter karya Morgan Spurlock. Selain mengisahkan tentang percobaan nekat yang dilakukan Morgan, ada beberapa hal menarik yang diungkap juga dalam film tersebut. Beberapa di antaranya: Amerika nggak cuma mempunyai gedung-gedung tinggi, mobil yang pajang, tetapi juga orang-orang “besar.” Sekitar 60% penduduk Amerika diyakini mengalami obesitas, dengan konsentrasi Detroit dan Houston (Texas). Gaya hidup dan makanan yang keliru tidak hanya dibayar dengan duit, tetapi juga harus ditebus dengan kondisi tubuh, kesehatan, dan risiko kematian. Dalam suatu percobaan, ditunjukkan beberapa gambar tokoh (termasuk George Washington dan Jesus Christ) kepada beberapa anak. Tidak banyak anak yang bisa menebak. Mereka semua baru bisa menebak dengan tepat ketika disodori gambar badut Ronald McDonald. Industri junk food telah berkembang dengan sangat pesat. Sebuah perusahaan fast food ternama, dalam 1 hari bisa melayani 46 juta orang; melebihi jumlah penduduk Spanyol. Lebih parah lagi, junk food juga digalakkan melalui school lunch program. Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values. Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting. Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior. Etika bisnis sendiri terbagi dalam: Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and
C. Perlunya Berbisnis dengan Etika
Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya. Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen. Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa. Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya. Memang benar, tidak ada yang bisa menjadi produsen (atau konsumen) selamanya. Ada kalanya kita berada dalam posisi sebagai penjual dan ada kalanya kita sebagai pembeli. Saya sendiri, lebih sering berada dalam posisi sebagai konsumen — alih-alih sebagai seorang produsen. Kembali ke kasus Morgan di atas, persaingan bisnis yang kian sengit memang mengakibatkan terdistorsinya batas-batas antara right-wrong atau good-bad. Lumrah sekali kita jumpai praktik bisnis yang menembus area abu-abu. Tidak jarang pula kampanye pemasaran begitu gencar digalakkan sehingga membuat kita bahkan tidak bisa mengenali diri kita sendiri. Kita “dipaksa” membeli barang yang kita tidak perlu. Kita “senang” mengonsumsi produk yang sebenarnya justru merusak diri kita. Kita “bahagia” memakai produk luar negeri sementara industri dalam negeri mulai kehabisan nafas. Kompas beberapa waktu lalu pernah mengulas tentang gencarnya cengkeraman kapitalisme membelenggu negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia. Korbannya adalah masyarakat strata menengah dan masyarakat strata “agak bawah” yang “memaksakan diri” untuk masuk ke level yang lebih tinggi. Secara fundamental ekonomi, pengaruhnya jelas tidak baik karena ekonomi yang didasarkan pada tingkat konsumsi yang besar (apalagi dibiayai oleh utang) benar-benar rawan. Secara sosial, jelas fenomena ini akan menimbulkan pergeseran dan rentan terhadap benturan yang dampak turunannya sebenarnya cukup mengerikan. Maka tak perlu heran jika di jaman sekarang seorang anak kecil akan lebih faham kosakata “starbucks”, “breadtalk”, “orchard road”, “gucci”, daripada kosakata lain seperti “gudeg”, “bunaken”, “senggigi”, “ketoprak”, dan sebagainya. Kita secara tidak sadar mengkiblatkan diri pada produk/jasa yang sebenarnya tidak terlalu bagus — melainkan karena praktik pemasaran dan operasional bisnis yang seringkali melanggar batas-batas etika. Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri. Belajar dari pengalaman Morgan, sebagai konsumen kita memang harus mulai belajar untuk aware terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika. Karena pada akhirnya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Sementara produsen memiliki kesempatan berkelit yang lebih banyak. The winner takes all. Padahal, sebenarnya kita nggak perlu malu mengonsumsi tahu, tempe, atau daun singkong, sementara teman-teman kita makan di restoran fast food. Biarlah kita mengenakan produk dalam negeri sementara orang lain pakai Versace, Bvlgari, atau Luis Vuitton. Tidak ada yang akan menghukum kita hanya karena ponsel kita lebih lawas daripada milik rekan kita. Kita tidak perlu ganti mobil hanya karena tetangga kita barusan beli mobil baru. Kita juga tidak harus membeli rumah yang lebih besar sementara kita sendiri sebenarnya sudah cukup nyaman dengan rumah yang ada. Dan percayalah. Tidak ada yang lebih tahu dan mengenal diri kita kecuali Tuhan dan diri kita sendiri. Mumpung masih bulan Ramadhan. Ada baiknya kita banyak-banyak introspeksi.
D. Menuju Bisnis Beretika Islam
DIAM-diam persoalan etika bisnis rupanya diidam-idamkan juga di Indonesia. Sudah waktunya bagi para pengusaha untuk memperhatikan etika dalam berbisnis. Dalam melakukan bisnis jangan hanya mengejar keuntungan tapi juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian kata Direktur Eksekutif Indonesia Business Links (IBL) Yanti Koestoer, di Jakarta, Jumat (3/12/2004). Dipandang dari segi etika, memang tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) tidak hanya sekadar menyangkut pengembangan komunitas (community development/CD). Tidak juga sekadar kegiatan sosial (charity). Pengertian CSR jauh lebih luas dari itu. Di dalamnya juga termasuk memperlakukan karyawan dengan baik dan tidak diskriminatif serta tidak melanggar HAM. Demikian pula, perlakuan terhadap pemasok harus baik. Jangan berbuat aniaya terhadap para pemasok. Juga, sistem pelaporan keuangan tunggal, tidak doubel atau beberapa laporan untuk mengelabui pemerintah dan petugas pajak. "Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana perusahaan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di sekitar lokasi perusahaan berdiri," tutur Yanti. Ketua Umum IBL, Pradakso Hadiwidjojo, juga mengatakan pentingnya menjalankan perusahaan dengan etika. "Kalau ingin sukses dan berkelanjutan, maka bisnis itu harus dijalankan dengan etika,termasuk di dalamnya CSR. CSR bukanlah sumber biaya atau pemborosan. Sebaliknya, CSR itu ikut memperbagus dan mempercantik perusahaan," tandasnya sambil mengakui bahwa di Indonesia, CSR masih terbilang baru.Agaknya, perbincangan soal etika bisnis itu akan semakin mengemuka mengingat arus globalisasi semakin deras terasa. Globalisasi memberikan tatanan ekonomi baru. Para pelaku bisnis dituntut melakukan bisnis secara fair. Segala bentuk perilaku bisnis yang tidak wajar seperti monopoli, dumping, nepotisme dan kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku.Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip agama dan nilai-nilai etika seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi. Manajemen yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai-nilai agama (nilai-nilai moral), hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu survive dalam jangka panjang.Etika bisnis ialah pengetahuan tentang tata cara ideal mengenai pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal. Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen dalam etika bisnis dibanding jenis etika bisnis lainnya. Syariah Islam, misalnya, memberikan aturan umum dan standar etika yang berhubungan dengan konsep bisnis, seperti dalam hal kepemilikan, keadilan, harga, persaingan, dan hubungan antara pemilik dengan karyawan. Secara normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah memiliki motivasi dan perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18). Dalam konsep etika demikian, hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum (public interest), misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan tertib pembukuan.Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122; dan QS 30: 6); dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan dalam bermuamalah (QS 87: 1-3); dalam mengutamakan efisiensi terkait penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27); dalam menegakkan kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89).Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2: 138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2: 155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an, hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Terdapat empat prinsip etika bisnis Islami: (1) Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek kehidupan manusia, sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik secara vertikal (hablumminallah) maupun secara horizontal (hablumminannas). Sebagai manifestasi dari prinsip ini, para pelaku bisnis tidak akan melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah.(2) Prinsip pertanggungjawaban. Para pelaku bisnis harus bisa mempertanggungjawabkan segala aktivitas bisnisnya, baik kepada Allah SWT maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan keadilan. (3) Prinsip keseimbangan atau keadilan. Sistem ekonomi dan bisnis harus sanggup menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. (4) Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur penting, yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran ditunjukkan dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Integrasi etika bisnis Islami dalam proses bisnis secara keseluruhan akan berdampak pada beberapa pengaturan. Di antaranya: menentukan standar etika dari konsep bisnis yang berlaku; menentukan praktik bisnis yang etis dan tidak etis; menentukan bentuk lembaga bisnis yang sah dan sesuai ketentuan syariah; menentukan prinsip dan prosedur akuntansi yang sesuai dengan syariah Islam; dan menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial (CSR) terhadap masyarakat.Dengan menggunakan etika bisnis Islami sebagai dasar berperilaku, baik oleh manajemen maupun oleh semua anggota organisasi, maka perusahaan akan mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM yang berkualitas adalah yang memiliki kesehatan moral dan mental, punya semangat dalam meningkatkan kualitas amal (kerja) di segala aspek, memiliki motivasi yang bersifat inner, mampu beradaptasi dan memiliki kreativitas tinggi, ulet dan pantang menyerah, berorientasi pada produktivitas kerja, punya kemampuan berkomunikasi, mengutamakan kerapian dan keindahan kerja. Jika akal dikendalikan iman, akan membuat seseorang dalam berbisnis tetap berpedoman pada standar etika yang diyakininya.Bila memiliki SDM yang berkualitas, maka akan lahir strategic cost reduction (SCR) atau strategi pengurangan biaya, di mana SDM akan memfokuskan pengurangan biaya pada penyebab timbulnya pemborosan yaitu kualitas yang rendah.Peningkatankualitas,keandalan dan kecepatan dalam menghasilkan produk, mengakibatkan pengurangan total biaya yang dibebankan kepada costumer. SCR ini memiliki karakteristik bagus, yaitu bertujuan menempatkan perusahaan pada posisikompetitif, berlingkup luas, berjangka panjang, bersifat kontinyu, bersifat proaktif, berfokus ke seluruh value chain.SDM yang berkualitas itu tentu sangat penting. Karyawan (anggota organisasi) adalah penentu akhir keberhasilan SCR dalam jangka panjang. Keseriusan manajemen puncak amat menentukan efektivitas program pengurangan biaya, dan mindset sebagai landasan SCR.Untuk memiliki SDM yang berkualitas, perlu adanya pemberdayaan karyawan (employee empowerment), di mana hal ini merupakan langkah strategis untuk mewujudkan pengurangan biaya dalam jangka panjang. Pemberdayaan karyawan yang terintegrasi dengan etika bisnis Islami diharapkan akan melahirkan rasa percaya antara manajer dengan karyawan.Dalam konteks demikian, setiap anggota organisasi akan melakukan setiap pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab dan jujur. Dalam diri anggota organisasi terdapat keyakinan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, sehingga harus bertanggung jawab atas pekerjaan/tugas yang diberikan kepadanya, baik bertanggung jawab kepada Allah maupun kepada atasan di tempat mereka bekerja.Jadi, sebetulnya, untuk pengurangan biaya dalam jangka panjang, dibutuhkan perubahan perilaku karyawan.Karyawan merupakan kunci sukses dalam strategi pengurangan biaya. Keberhasilan manajemen dalam pemberdayaan karyawan amat ditentukan oleh kesadaran para karyawan terhadap perlunya nilai-nilai kebenaran dan moral (nilai-nilai etika) sebagai landasan berperilaku dalam kaitan dirinya sebagai pelaku bisnis.Dengan demikian, pemberdayaan karyawan yang didasarkan pada etika bisnis Islami merupakan langkah strategis untuk pengurangan biaya dalam jangka panjang. Di sinilah, di antaranya, sangat pentingnya penerapan etika dalam bisnis. Semoga hal itu cepat disadari oleh para pelaku bisnis di negeri ini.Direktur Lembaga Tafsir Etika Sosial.
E. Kesimpulan
Berbagai bisnis pun sudah banyak yang digeluti oleh orang.Berbagai media pun sudah banyak dimanfaatkan orang baik media cetak maupun media elektronik dari yang door to door hingga melalui cyber media seperti internet.Namun terkadang cara atau metode yang dilakukan oleh pebisnis tersebut kurang baik dan cenderung tidak sehat dalam bersaing.Dan kadang pula,ada beberapa yang kerap kali gagal melakukan Bisnis tersebut.Untuk itu bagaimanakan melakukan bisnis yang baik. CONTOH Bisnis yang tidak beretika adalah menjelek jelekkan suatu produk lewat iklan yang menyesatkan. Misalkan iklan permen espresso milk yang menjelekjelekkan permen kopiko-song. Kopiko yang diplesetkan menjadi permen kosong. Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal.